BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kondisi
Kemasyarakatan yang terjadi sekarang ini di berbagai belahan dunia baik di
negara-negara yang sudah maju atau yang sudah berkembang apalagi negara yang
sudah tertinggal, sangat memprihatikan. Berbagai kejanggalan yang terjadi
memunculkan satu pertanyaan yang jika tidak dicermati dengan benar, akan sulit
menjawabnya. Fenomena bunuh diri di kalangan orang kaya yang secara materiil
tidak kekurangan, penyakit mental (stress), problematika rumah tangga,
obat-obatan terlarang, abnormalisme seksual, tindak kriminal, anarkisme, dan
lain sebagainya, merupakan suatu problematika yang baru dicari jalan
keluarnya.
Sebagai
dampak modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kondisi sosial kemasyarakatan yang terjadi sekarang ini di berbagai belahan
dunia baik di negara-negara yang sudah maju atau yang sedang berkembang sangat
memprihatikan.
Moral
adalah suatu masalah yang menjadi perhatian orang dimana saja, baik dalam
masyarakat yang telah maju maupun dalam masyarakat yang masih terbelakang.
Salah satu kenyataan di Indonesia sekarang ini adalah adanya gejala kemerosotan
moral bangsa secara tajam. Kemerosotan moral tersebut bukan hanya pada orang
tua akan tetapi sudah merambat pada generasi muda yang diharapkan untuk
meneruskan perjuangan bangsa (Darajat, 1976;8).
Masa
remaja adalah suatu tahap kehidupan yang bersifat peralihan (transisi) mulai
dari masa kanak-kanak menuju dewasa, oleh sebab itu masa ini sering
terjadi kegoncang-kegoncangan sebagai akibat dari belum siapnya mereka menerima
nilai-nilai baru dalam rangka mencapai kedewasaan. Hal ini dapat dilihat dari
tingkah laku remaja sehari-hari baik dirumah, disekolah, maupun dilingkungan
masyarakat (Willz, 1981;19).
Masalah
anak-anak dan pendidikan adalah suatu persoalan yang amat menarik perhatian,
terutama bagi ibu-ibu yang setiap hari menghadapi anak-anak yang membutuhkan
pendidikan. Banyak ibu –ibu yang mengeluh apabila melihat hasil didikannya
kurang menggembirakan. Banyak pula ibu yang kebingungan, tak tahu bagaimana
menghadapi anak yang rewel, keras hati, keras kapala, nakal, sukar diatur waktu
malam, tidur atau bermainnya. Bahkan ada ibu yang merasa sedih, karena anaknya
sering sakit, lekas masuk angin, pertumbuhannya lambat, baik fisik maupun
mental.
Tidak
selamanya orang mampu menghadapi kesukaran yang menimpanya. Maka perlu adanya
suatu bimbingan dan penyuluhan agama yang dapat membantu mengatasi
kesulitan-kesulitan dan kecaman-kecaman yang dialami oleh masyarakat remaja
maupun anak-anak. Lebih-lebih anak-anak yang mengalami kelainan bentuk fisik
sangat diperlukan penanganan secara khusus.
Anak-anak
yang mempunyai cacat pada badannya dan menyadari ketunaannya pada umumnya
merasa malu dan sangat menderita batinnya. Harapan mereka terasa gelap dalam
menjalani hidup, mereka merasa rendah diri penuh ketakutan dan keragu-raguan.
Dengan kondisi sistem syarafnya dalam keadaan tegang secara terus menerus,
mereka selalu merasa gagal dalam usahanya, percaya dirinya kurang, kondisi ini
sering mematahkan semangatnya, sehingga sangat perlu adanya bimbingan dalam
penyuluhan agama secara intensif (Kartoni,Andari, 1989;74).
Pada
usia remaja, wawasan sosial putra dan putri bertambah luas melampui batas-batas
keluarga dan sejenisnya. Hal tersebut menimbulkan persoalan baru baginya. Dalam
waktu ini remaja mengalami perubahan perubahan.pada dirinya terbentuk
siksp-sikap baru baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Dalam pandangan masyarakat, remaja masih kanak-kanak, bahkan diharapkan ia
memainkan peran sosial yang berbeda, ia menemukan orang-orang dewasa, yang
bukan keluarganya, namun ia harus bergaul dengan mereka (Remmers dan Hackett,
1984; 37). Ruang lingkup teman sebayanya juga meningkat. Terbentuk pula adanya
kecenderungan kepada teman lain jenis.
Boleh
jadi sebagian persoalan yang dipelajari oleh para remaja itu terjadi dengan
jalan meniru teman-temannya dan orang dewasa yang dikenalnya, dan mereka
mempelajari pola-pola tingkah laku melalui cara perlakuan kawan-kawannya dan
perlakuan orang lain. Pada masa remaja khususnya mereka tertarik akan kelakuan
teman-temannya dan ia meniru kelakuan mereka (Remmers dan Hackett, 1984;39).
Permulaan
hidupnya, mungkin remaja menikmati suasana yang dapat memenuhi kebutuhannya dan
mungkin pula tidak, atau di lingkungan itu dia terhalang untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan itu. Dalam menghadapi rintangan-rintangan itu terjadilah
berbagai cara penyesuaian diri. Biasanya cara-cara itu kurang wajar seperti
malas, emosi, mencuri, berdusta, menipu, merokok, pura-pura sakit, menentang,
melakukan hubungan seks, dan sebagainya, dimana cara-cara kompensasi atau
pembelaan, yang idenya diambil dari lingkungan. Mungkin saja lingkungan tempat
sanak menemukan ide tersebut, adalah lingkungan yang menekan atau sebangsanya
(El-Quussy, 1974;285).
Dalam
pada itu perlu ditegaskan bahwa masalah yang menjadi obyek garapan bimbingan
dan konseling adalah masalah-masalah psikologis, bukan masalah-masalah fisik.
Masalah fisik ini diserahkan kepada bidang yang relevan, misalnya kedokteran.
Jadi, dalam kasus tertentu yang melibatkan fisik, terlebih dahulu ditangani
fisiknya oleh kedokteran, baru kemudian masalah psikologinya ditangani
konseling (Faqih, 2004;3).
Bimbingan
Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup
selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai
kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. Dengan demikian bimbingan islami
merupakan proses bimbingan sebagaimana kegiatan bimbingan lainnya, tetapi dalam
seluruh seginya berlandaskan ajaran islam, artinya berlandaskan Al Qur’an dan
Sunnah Rasul (Faqih;2004;4).
Konseling
adalah suatu proses interaksi yang (a) terjadi antara dua orang yang disebut
konselor dan klien, (b). Terjadi dalam situasi yang bersifat pribadi (
proposional), (c). diciptakan dan dibina sebagai suatu cara untuk memudahkan
terjadinya perubahan-perubahan tingkah laku klien, sehingga ia memperoleh
keputusan yang memuaskan kebutuhannya. Hubungan konseling timbul dari adanya
interaksi antara dua orang individu, yang seorang adalah petugas yang terlatih
(profesional), dan yang lainnya adalah orang yang memerlukan bantuan (klien)
(Sukardi, 1985;14).
Dilihat
dari pengertian yang demikian itu, hendaknya sekolah didalam melaksanakan
program bimbingan dan konseling, menugaskan konselor yang telah mendapatkan
latihan yang professional dalam bidangnya. Jadi konseling di sekolah haruslah
dibantu oleh staf yang telah memperoleh latihan secara professional dengan
tidak meninggalkan dasar ajaran Islam yang berlandaskan ajaran Al Qur’an dan
sunah Rasul, sebab keduanya merupakan sumber dari segala pedoman kehidupan umat
Islam.
Pemberian
Bimbingan dan Konseling Islam (untuk selanjutnya disingkat dengan BKI) juga
diterapkan di sekolah yang pada umumnya memberikan pelajaran tentang
Pendidikan Agama Islam.
Muhlisin,
S.Sos.I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar