I.
PENDAHULUAN
Perbedaan budaya antara satu daerah dengan daerah lainnya acap kali
sering menimbulkan perdebatan bahkan hingga menimbulkan pertumpahan darah.
Seperti beberapa kejadian berikut ini perang antara egoisitas Amerika dengan
Irak, Kristen
fundamentalis menyerang Islam setelah serangan teroris 9 September, kelompok
militan Hindu dan Muslim saling bunuh di Ayodha-India, konflik antara Israel
dan Palestina terus bergolak memakan korban, prasangka rasial kulit putih
terhadap kulit hitam di Amerika Serikat menyulut kerusuhan berdarah,
diskriminasi kekerasan terhadap minoritas Cina terjadi lagi di Pekalongan, penggunaan
bangunan sebagai gereja di Depok diprotes keras warga Muslim, sebuah gereja di
Palu dibom menjelang Natal. Semua kejadian tersebut didasarkan pada perbedaan
budaya satu sama lain dimana anggota dari tiap komunitas budaya tersebut sering
terlalu fanatik, ekslusif dan cenderung berprasangka pada kelompok lainnya.
Psikologi
sebagai ilmu yang mempelajari mengenai segala perilaku manusia dan segala
proses mentalnya juga memiliki peran yang signifikan dalam proses pemberian
pengertian pada tiap-tiap kelompok. Apalagi dalam konteks dakwah, yang akhirnya
menciptakan sebuah cabang ilmu baru yaitu Psikologi Dakwah, memahami dan
mengatahui kondisi psikis mad’u sangatlah penting ditambah lagi mad’u yang
memiliki lantar belakang budaya berbeda.
Oleh karena
itu, pada kesempatan kali ini, pemakalah mencoba memaparkan mengenai psikologi
dakwah lintas budaya.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimanakah
Pengertian Psikologi Dakwah?
B.
Bagaimanakah
Pengertian Budaya?
C.
Etnosentrisme
dan Stereotype?
D.
Strategi
Dakwah Antar Budaya?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Psikologi Dakwah
Psikologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia dan proses mental.
Sedangkan pengertian dakwah adalah suatu proses kegiatan menyampaikan dan
mengajarkan serta mempratikkan ajaran Islam secara kafah (utuh) dengan
menjadikannya landasan norma, etika kemanusian dalam melaksanakan hak dan
kewajiban. Jadi psikologi dakwah dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari segala gejala kehidupan kejiwaan para pelaku kegiatan dakwah (da’i
dan mad’u) dalam mencapai tujuan dakwah.
Psikologi
dakwah dapat juga diberi batasan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang tingkah laku yang merupakan cerminan hidup kejiwaannya untuk diajak
kepada pengalaman ajakan-ajakan Islam demi kesejahteraan hidup manusia di dunia
dan di akhirat. Tujuan psikologi dakwah adalah membantu dan memberikan
pendangan kepada para Da’i tentang pola dan tingkah laku para Mad’u dan hal-hal
yang mempengaruhi tingkah laku tersebut yang berkaitan dengan aspek kejiwaan
(psikis) sehingga mempermudah para Da’i untuk mengajak mereka kepada apa yang
dikehendaki ajaran Islam.[1]
B. Pengertian
Budaya
Ditinjau
dari segi bahasa, kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah”, bentuk
jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Pendapat lain mengatakan,
bahwa kata budaya adalah sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budidaya,
yang berarti daya dan budi. Karena itu mereka membedakan antara budaya dan
kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan
kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa tersebut.[2]
Definisi
lain menyebutkan bahwa kebudayaan adalah usaha manusia dan masyarakat untuk
mengembangkan prasarana budaya menjadi sarana budaya yang lebih mantap yang
diharapkan dapat menjawab tantangan yang dihadapkan kepadanya secara lebih
memuaskan.[3]
Koentjaraningrat
merumuskan definisi kebudayan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.[4]
Kebudayaan merupakan salah satu ciri keberadaan manusia di muka bumi. Dakwah
mau tidak mau harus melibatkan hal yang satu ini dalam usahanya. Kita tidak
akan mampu mengeneralisir kebudayaan yang dimiliki oleh setiap manusia.
Kebudayaan manusia, awalnya muncul karena adanya manusia, namu dalam
perkembangannya, manusia lebih dipengaruhi oleh kebudayaan yang ada.
Menarik,
mendalam, dan menerus atau kontinyu adalah syarat penerapan dakwah dalam ranah
kebudayaan, kalau kita memahami kebudayaan sebagai hasil cipta karya, dan rasa
manusia. Influentif, sabar, tegas, persuasif, dan proporsional adalah hal
selanjutnya yang harus menjadi ukuran kegiatan dakwah, kalau kita memahami
kebudayaan sebagai norma, pola hidup, dan nilai di dalam suatu masyarakat.
Koentjaraningrat
berpendapat bahwa ada tujuh unsur kebudayaan, yaitu:
a. Bahasa
b. Sistem
pengetahuan
c. Organisasi
sosial
d. Sistem
peralatan hidup dan teknologi
e. Sistem
mata pencaharian hidup
f. Sistem
religi
g. kesenian[5]
C. Etnosentrisme
dan Streotype
Budaya
merupakan filter ataupun perangkat yang mempengaruhi bagaimana seorang manusia
melakukan persepsi dan atribusi terhadap suatu hal ataupun peristiwa. Sikap
melihat dan melakukan interpretasi terhadap prilaku orang lain berdasar
nilai-nilai budaya sendiri disebut etnosentrisme. Manusia memang kadang tidak
mampu memisahkan diri dari etnosentrisme hingga bias dalam memahami perilaku
orang. Apa yang dilakukan orang lain adalah benar bila menurut nilai kita itu
benar, sedangkan sangat mungkin orang lain tersebut memiliki kriteria penelian
tersendiri yang beda dengan kita.
Etnosentrisme
sangat dekat sekali dan sering sekali tidak terpisahkan dengan apa yang disebut
Stereotype. Stereotype adalah generealisasi sikap keyakinan, ataupun opini
mengenai sikap, keyakinan, ataupun opini mengenai orang yang berasal dari
budaya lain (Brigham, 1991). Stereotype didasari fakta dan fiksi mengenai orang
dari budaya tertentu, namun seringkali menjadi konsepsi yang terlalu sederhana,
kaku, dan tidak akurat. Terjadinya ketidak akuratan ini akibat dilakukannya
overgeneralisasi dari pengalaman pribadi ataupun suatu informasi yang masuk.
Dalam
beberapa kejadian, streotype membantu kita dalam dasar pengambilan keputusan,
melakukan evaluasi, dan berinteraksi dengan orang dari lain budaya. Di sisi
lain, suatu pendekatan ilmiah menuntut suatu pemaparan dan analisa yang akurat
dan objective, termasuk psikologi lintas budaya. Seorang peneliti psikologi
lintas budaya harus melepaskan semua kacamata etnosentrisme dan stereotype
dalam kajiannya. Selain itu kedaran bahwa ada variabilitas internalisasi budaya
pada setiap individu anggota suatu kelompok budaya juga tidak boleh dihilangkan
untuk menghindari overgenalisasi dan pembentukan streotype yang salah.[6]
D. Strategi
Dakwah Antar Budaya
Strategi
dakwah antar budaya merupakan suatu perencanaan (planning) matang dan
bijak tentang dakwah Islam secara rasional untuk mencapai tujuan Islam dengan
mempertimbangkan budaya masyarakat, baik segi materi dakwah, metodologi maupun
lingkungan tempat dakwah berlangsung.[7]
Dalam dakwah sebagai sebuah proses komunikasi, terutama dalam dakwah antar
budaya, akan menjadi efektif dalam proses penyampaian pesan dakwahnya apabila
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Menghormati
anggota budaya lain sebagai manusia
b. Menghormati
budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki
c. Menghormati
hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak
d. Da’i (sebagai
pelaku dakwah) harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari budaya yang
lain.[8]
e. Mengenali
tempat, situasi dan kondisi masyarakat
Hal ini untuk
memudahkan perumusan strategi yang akan digunakan serta materi dakwah yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebab, dalam menentukan sebuah strategi
dakwah seorang Da’i harus jeli dalam melihat kondisi mad’u, sehingga aktivitas
dakwah akan lebih mantap, efisien, dan mengenai sasaran.[9]
f. Membuat
karya budaya sarat dakwah seperti wayang dakwah, cerita, dongeng, drama yang
berisi pesan dakwah persuasif dan inklusif, design pakaian Islam yang modern
dan syar’i.
Fungsi
dakwah Islam dalam konteks budaya ada dua macam yaitu pertama, menciptakan kondisi yang
sesubur mungkin bagi kelanjutan sintesa budaya Islam yang di masa silam belum
lagi sempat mencapai puncak kemekarannya. Kedua, memberikan makna dan
format spiritual bagi proses kehidupan antar budaya kita yang berkiblat pada
perkembangan menuju moderinitas.[10]
IV.
KESIMPULAN
Psikologi dakwah dapat
diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari segala gejala kehidupan
kejiwaan para pelaku kegiatan dakwah (da’i dan mad’u) dalam mencapai tujuan
dakwah. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan
kebudayaan adalah hasil cipta, karsa dan rasa tersebut. Stereotype adalah
generealisasi sikap keyakinan, ataupun opini mengenai sikap, keyakinan, ataupun
opini mengenai orang yang berasal dari budaya lain.
Strategi dakwah antar budaya
merupakan suatu perencanaan (planning) matang dan bijak tentang dakwah
Islam secara rasional untuk mencapai tujuan Islam dengan mempertimbangkan
budaya masyarakat, baik segi materi dakwah, metodologi maupun lingkungan tempat
dakwah berlangsung.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah ini kami sampaikan. Kami sadar makalah ini jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan
dan wawasan kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad,
Amrullah, Dakwah Islam dan Perubahan
Sosial, Yogyakarta: Prima Duta, 1983
Dayakisni, Tri, Psikologi Lintas Budaya, Malang : UMM, 2004
Prasetya, Joko Tri, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991
Thohir,
Mudjahirin, Memahami Kebudayaan, Semarang:
Fasindo Press, 2007
[2] Joko Tri Prasetya, dkk, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991, hlm. 28
[3] Amrullah achmad, Dakwah
Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Prima Duta, 1983, hlm. 84-85
[4] Mudjahirin Thohir, Memahami
Kebudayaan, Semarang: Fasindo Press, 2007, hlm. 19
[5] Ibid, Mudjahirin
Thohir, hlm. 23-24
[6] Tri dayakisni,
Psikologi Lintas Budaya, Malang : UMM, 2004, Hal. 24-26
[10] Op.cit
Amrullah Achmad Hal. 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar