Daftar Blog Saya

Rabu, 06 Juni 2012

Psikologi Sosial

Sikap dan perilaku

I.             PENDAHULUAN
Manusia tidak dilahirkan dengan sikap pandangannya atau sikap perasaannya tertentu, tapi semua sikap yang manusia tunjukan dibentuk sepanjang perkembangannya. Sikap berperan besar dalam kehidupan manusia, karena jika suatu sikap sudah dibentuk pada diri manusia maka sikap itu akan ikut menentukan caranya berperilaku terhadap objek-objek di sekitarnya.[1]
Sikap merupakan salah satu bahasan yang menarik dalam kajian psikologi, karena sikap sering digunakan untuk meramalkan tingkah laku, baik tingkah laku perorangan, kelompok, bahkan tingkah laku suatu bangsa. Meskipun demikian, sikap negatif seseorang terhadap suatu obyek tidak selalu memunculkan tingkah laku yang negatif terhadap obyek tersebut. Misalnya seorang bawahan yang mempunyai sikap negatif terhadap tindakan atasannya tidak otomatis menjanjikan bahwa bawahan tersebut akan berperilaku negatif terhadap pimpinannya.
Hal ini dikarenakan adanya aspek lain yang mempengaruhi munculnya tingkah laku seseorang. Dalam kaitan perilaku bawahan terhadap atasan diatas, mungkin saja faktor ketakutan bila ia bertindak negatif maka ia akan dipecat menjadi salah satu faktor penghambat munculnya perilaku negatif.[2]
II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Pengertian Sikap dan Perilaku?
B.     Apa sajakah Teori Sikap dan Perilaku?
C.     Bagaimanakah Pembentukan Sikap dan Perilaku?
III.       PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sikap dan Perilaku
1.      Sikap
Menurut Thurstone sikap adalah “an attitude as the degree of positive or negative affect associated with some psychological object. By psychological object Thurstone means any symbol, phrase, slogan, person, institution, ideal, or idea, toward which people can differ with respect to positive or negative affect”
Thurstone memandang sikap sebagai suatu tingkatan afeksi baik positif maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis. Afeksi positif adalah afeksi senang sedangkan afeksi negatif adalah afeksi yang tidak menyenangkan.[3]
Wrightsman (1993) menyatakan bahwa sikap adalah  “ …. An evaluation of objects, people or issues about which an individual has some knowledge” Atau sebuah evaluasi atas obyek manusia atau ide berdasarkan pada pengetahuan yang dimiliki oleh individu.
Allport mendefinisikan sikap sebagai “a mental and neural state of readiness, organized through experience, exerting a directive or dynamic influence upon the individuals responses to all objects and situations with which it is related” dari pernyataanya tersebut Allport menekankan pengalaman masa lalu sangatlah penting dalam membentuk sikap. [4]
Pendapat lain mengatakan sikap adalah organisasi yang relatif menetap dari perasaan-perasaan, keyakinan-keyakinan, dan kecenderungan perilaku terhadap orang lain, kelompok, ide atau obyek tertentu (Fishbein dan Ajzen, 1975). Berdasarkan pendapat Fishbein dan Ajzen, terdapat 3 aspek penting dalam sikap, yaitu aspek afeksi (perasaan), aspek kognisi (keyakinan), aspek konasi (perilaku).[5]
Sebenarnya definisi sikap manusia telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun ada tiga kerangka pemikiran yang dianggap mampu mencakup puluhan definisi sikap. Pemikiran yang pertama yaitu pemikiran seperti Louis Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood, mereka mengatakan sikap sebagai suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan yang mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau memihak (unfavorable) pada objek tersebut.
Pemikiran yang kedua dikemukakan oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPiere, Mead, dan Gordon Allport. Konsepsi mereka tentang sikap yaitu bahwa sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu.  
Pemikiran yang  ketiga kelompok yang berorientasi pada skema triadik. Menurut kerangka pemikiran ini, sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. [6]
Jadi berdasarkan semua pengertian yang telah dipaparkan sebelumnya dapat dikatakan bahwa sikap adalah penilaian positif atau negatif terhadap isu, ide, orang, kelompok sosial, benda dan lain sebagainya.
2.      Perilaku
Pada dasarnya perilaku sering disebut sebagai aktivitas yang dalam arti luas dapat dibedakan menjadi dua yaitu perilaku yang Nampak (overt behavior) dan perilaku yang tidak nampak (inert behavioral). Perilaku yang ada pada individu tidak timbul dengan sendirinya tapi merupakan akibat dari stimulus yang diterima dari organisme yang bersangkutan baik stimulus internal dan stimulus eksternal. Namun perilaku lebih sering  merupakan respon atau akibat dari stimulus eksternal.
Kaum behavioris memandang bahwa perilaku adalah respon terhadap stimulus dimana keadaan dari stimulus itu sendiri sangat berpengaruh dan individu seolah tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan perilakunya. Sementara pandangan aliran kognitif mengenai perilaku adalah bahwa perilaku individu merupakan respon dari stimulus namun dalam diri individu itu pada kemampuan untuk menentukan perilaku yang diambilnya. Artinya, bahwa individu dalam keadaan aktif untuk menentukan perilaku yang ia akan ambil.
Terdapat sebuah pandangan yang mengatakan bahwa sikap merupakan prasarat untuk terjadinya perilaku, namun harus ditekankan bahwa hal ini tidak lantas membuat perilaku bergantung seratus persen pada sikap. Intinya perilaku individu bisa saja tidak sama dengan sikapnya.

B.     Teori Sikap dan Perilaku
1.      Teori-teori sikap
Secara garis besar teori mengenai sikap dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu:
a.       Teori belajar (Learning Theories)
Menurut teori belajar yang dikemukakan Doob (1947) ia menyatakan bahwa prinsip-prinsip dari classical dan operant conditioning dapat digunakan dalam proses pembentukan dan perubahan sikap. Dari pandangan teori ini pembentukan ataupun perubahan sikap merupakan hasil dari proses belajar. Seperti dari percobaan Pavlov terhadap anjing.
b.      Teori konsistensi
Teori ini mengungkapkan bahwa individu cenderung berusaha untuk memelihara konsistensi antara sejumlah sikap yang dimiliki seseorang
c.       Teori respon kognitif
Teori ini lebih menekankan pandangannya pada kenyataan bahwa penerima informasi mampu menggeneralisasikan pemikiran mengenai pemikiran yang masuk dalam pikiran mereka dan bukan sekedar memberikan reaksi semata terhadap informasi-informasi tersebut.[7]
2.      Teori perilaku
Beberapa tentang teori perilaku manusia yaitu:
a.       Teori insting
Teori ini dikemukakan oleh McDougall ia mengatakan bahwa perilaku disebabkan oleh insting. Menurutnya, insting adalah perilaku yang innate atau perilaku bawaan dan insting akan berubah karena pengalaman.
b.      Teori dorongan (Drive Theory)
Teori ini menganggap bahwa organisme mempunyai dorongan atau drive tertentu. Dorongan-dorongan ini berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang mendorong organisme berperilaku. Apabila organisme ingin memenuhi kebutuhannya maka akan terjadi ketegangan dalam dirinya dan jika ia dapat memenuhi kebutuhannya, maka akan terjadi pengurangan atau reduksi dari dorongan tersebut.
c.       Teori insentif (Incentive Theory)
Teori ini bertitik tolak pada pendapat bahwa perilaku organisme disebabkan oleh adanya insentif. Insentif disebut juga sebagai reinforcement, ada yang positif atau negatif.
d.      Teori Atribussi
Teori ini dikemukakan oleh Fritz Heider yang menyatakan bahwa perilaku itu disebabkan oleh faktor dari dalam yaitu disposisi internal, misalnya sikap, sifat-sifat tertentu atau aspek internal yang lain dan juga disebabkan oleh keadaan eksternal, misal situasi. Faktor internal juga disebut atribusi internal, dan faktor eksternal juga disebut atribusi eksternal.
e.       Teori Kognitif
Dengan kemampuan berfikir seseorang akan dapat melihat apa yang telah terjadi sebagai bahan pertimbangannya dan melihat apa yang dihadapi pada waktu sekarang serta dapat melihat kedepan apa yang akan terjadi dalam seseorang bertindak.[8]
C.     Pembentukan Sikap dan Perilaku
1.      Pembentukan sikap
Seperti yang telah kita ketahui bahwa sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk sepanjang perkembangan individu yang bersangkutan. Dan dalam proses perkembangan tersebut terdapat berbagai hal yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap individu, kemudian hal ini disebut sebagai faktor pembentuk sikap yang dibedakan menjadi dua macam, yaitu: faktor internal dan eksternal.
2.      Pembentukan perilaku
§  Pembentukan perilaku dengan konsidioning atau kebiasaan
Cara ini didasarkan atas teori belajar konsidioning yang dikemukakan oleh Pavlov, Thorndike dan Skinner. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akan terbentuklah perilaku tersebut.
§  Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight)
Disamping pembentukan perilaku dengan kondisioning, pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan pengertian (insight). Cara ini berdasarkan atas teori belajar kognitif, yaitu belajar yang disertai dengan adanya pengertian, seperti yang dikemukakan Kohler.
§  Pembentukan perilaku dengan menggunakan model atau contoh
Jadi, perilaku itu dibentuk dengan cara menggunakan model atau contoh yang kemudian perilaku dari model tersebut ditiru oleh individu. Hal ini didasarkan atas teori belajar sosial (sosial learning theory) atau observational learning theory yang dikemukakan oleh Bandura (1977).[1]
D.    Konsistensi Sikap dan Perilaku
         Sikap dan perilaku sering dikatakan berkaitan erat, dan hasil penelitian juga memperlihatkan adanya hubungan yang kuat antara sikap dan perilaku. Salah satu teori yang bias menjelaskan hubungan antara sikap dan perilaku yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen. Menurut mereka, antara sikap dan perilaku terdapat satu faktor psikologis yang harus ada agar keduanya konsisten, yaitu niat (intention). Worchel dan Cooper (1983) menyimpulkan sikap dan perilaku bias konsisten apabila ada kondisi sebagai berikut:
a.       Spesifikasi sikap dan perilaku
b.      Relevansi sikap terhadap perilaku
c.       Tekanan normatif
d.      Pengalaman 

IV.             KESIMPULAN
Sikap adalah penilaian positif atau negatif terhadap isu, ide, orang, kelompok sosial, benda dan lain sebagainya.Sedangkan tingkah laku adalah respon terhadap stimulus dimana keadaan dari stimulus itu sendiri sangat berpengaruh dan individu seolah tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan perilakunya.
Dalam sikap terdapat beberapa teori, yaitu teori belajar (Learning Theories), teori konsistensi, teori respon kognitif. Adapun teori yang terdapat pada perilaku, yakni teori insting, teori dorongan (drive theory), teori insentif (incentive theory), teori atribussi, teori kognitif.
Sikap dibentuk sepanjang perkembangan individu yang bersangkutan, dalam hal ini ada dua factor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal meliputi fisiologis dan psikologis. Sedangkan faktor eksternal meliputi pengalaman, situasi, norma-norma, hambatan, dan pendorong.
Sikap dan perilaku sering dikatakan berkaitan erat, dan hasil penelitian juga memperlihatkan adanya hubungan yang kuat antara sikap dan perilaku. Seperti yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen, yang menyatakan bahwa antara sikap dan perilaku terdapat satu faktor psikologis yang harus ada agar keduanya konsisten, yaitu niat (intention). 

V.          PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar dalam makalah ini masih banyak kekurangan dari segi materi maupun penyampaian. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangatlah kami harapkan guna perbaikan makalah kami selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifuddin, Sikap Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Faturrochman, Pengantar Psikologi Sosial, Yogyakarta: Pustaka, 2006
Gerungan, W. A, Psikologi Sosial, Suatu Ringkasan, Jakarta : PT Eresco, 1983
Rukminto, Isbandi, Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994
Walgito, Bimo, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), Yogyakarta : CV Andi Offset, 2009



[1] Ibid, hlm. 18-19

[1] W. A Gerungan, Psikologi Sosial, Suatu Ringkasan, Jakarta : PT Eresco, 1983, hlm. 151
[2] Isbandi Rukminto, Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, hal. 177
[3] Bimo Walgito, Psikologi Sosial, Yogyakarta : Andi, 2003, hal : 126
[4] Op.cit, Isbandi Rukminto, hal.178
[5] Faturrochman, Pengantar Psikologi Sosial, Yogyakarta: Pustaka, 2006, hal. 43-44
[6] Saifuddin Azwar, Sikap Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 4-5
[7] Isbandi Rukminto, Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 189-192
[8] Op.cit, Bimo Walgito, hlm. 19-21

Psikologi Sosial


KONFORMITAS
                            I.               PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lain, saling meberikan pengaruh dengan yang lain dan ingin berkumpul untuk berinteraksi. Dan di dalam proses sosial tersebut seseorang akan terpengaruhi oleh individu, kelompok maupun organisasi masyarakat. Para psikolog sosial telah lama tertarik pada bagaimana prilaku orang dipengaruhi oleh orang lain dan kelompok. Di dalam makalah ini kita akan membahas pengaruh sosial salah satunya mengenai konformitas. Bahwa konformitas itu cara untuk menyesuaikan diri dengan kelompok dan agar bisa diterima oleh kelompok.

                         II.               RUMUSAN PERMASALAHAN
A.    Apa Pengertian Konformitas?
B.     Apa Saja Jenis-jenis dari Konformitas?
C.     Mengapa orang melakukan konformitas?
D.    Bagaimana Sisi Positif dan Negatif dari Konformitas?

                      III.               PEMBAHASAN
A. Pengertian Konformitas
Conformity (konformitas) adalah tendensi untuk mengubah keyakinan atau perilaku seseorang  agar sesuai dengan perilaku orang lain (Cialdini dan Goldstein, 2004). Kebanyakan remaja dianggap bebas memilih sendiri baju seperti orang lain dalam kelompok sosial mereka, dan karena mengenakan baju seperti orang lain dalam kelompok sosial mereka, dan karenanya mengikuti tren busana terbaru.[1]
Konformitas menurut ( Soerjono Soekanto, 2000) berarti penyesuaian diri dengan masyarakat dengan cara mengindahkan norma dan nilai masyarakat. Dalam buku (Kamanto Sunarto, 2004), Jon M Shepard mendefinisikan Conformity sebagai “the type of social interaction in whichan individual toward other in ways expected by the group”. Jadi konformitas adalah seseorang berprilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan merupakan bentuk interaksi yang di dalamnya kelompok. (Kiesler dan Kiesler, 1969, p.2) “Conformity is a change in behavior or belief as result of real or imagined group of pressure”. Konformitas tidak hanya bertindak atau bertingkah laku seperti yang lain lakukan tetapi juga terpengaruh bagaimana orang lain bertindak.
    Contoh dari  konformitas
eksperimen di Columbia University, para subyek penelitian adalah 2 orang mahasiswa yang diminta memperkirakan jarak antara gerak suatu titik cahaya dilayar dalam suatu ruang gelap. Dikala eksperimen dilakukan dengan masing-masing subyek secara terpisah. Jawaban-jawaban yang diberikan cenderung berbeda satu sama lain Muzafer  Sherif (1966) yang dikutip oleh Zanden ( 1979). Namun manakala eksperimen dilakukan dengan beberapa orang subyek sekaligus dan para subyek dimungkinkan untuk saling mempengaruhi, maka jawaban subyek cenderung sama. dari eksperimen ini Sherif menyimpulkan bahwa kelompok orang cenderung membentuk suatu norma sosial.
Dalam hal itu pula dapat disimpulkan bahwa menurut M. Sherif, konformitas berarti keselarasan, kesesuaian perilaku individu-individu anggota masyarakat dengan harapan-harapan masyarakatnya, sejalan dengan kecenderungan manusia dalam kehidupan berkelompok membentuk norma sosial.
Contoh: pola memberi sumbangan, pelanggaran lalu lintas. Dll
Dari uraian mengenai berbagai konformitas di atas, dapat disimpulkan bahwa konformitas adalah suatu bentuk sikap penyesuaian diri seseorang dalam mayarakat/kelompok karena dia terdorong untuk mengikuti kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang sudah ada.
(Henslin, 1997) Laki-laki cenderung berprilaku sesuai dengan apa yang diharapakan dari laki-laki dan perempuan berprilaku seperti orang perempuan. berprilaku sebagai laki-laki atau perempuan lebih disebabakan karena identitas diri sebagai laki-laki atau perempuan yang diberikan kepada kita melalui sosialisasi. Bayi laki-laki dan bayi perempuan diperlakukan berbeda, diberikan pakaian berbeda, diberi mainan berbeda.
Salah satu hal yang seseorang lakukan ketika berada dalam sebuah kelompok  adalah  konformi yaitu melakukan tindakan atau mengadopsi sikap sebagai hasil dari adanya tekanan kelompok yang nyata maupun persepsikan. Jadi apabila seseorang menampilkan perilaku tertentu karena setiap orang lain menampilkan perilaku tersebut dikatakan konformitas. Sikap patuh tetapi lebih kepada mengalah atau mengikuti tekanan dari kelompok. Perilaku seseorang yang sama ( seragam ) dengan perilaku orang lain atau perilaku kelompoknya. Definisi konformitas mengandung tiga hal, yaitu : patuh, perceived group pressure, dan subjek tidak diminta untuk patuh.[2]
Misalkan anda diminta hadir dalam sebuah laboratorium psikologi untuk mengikuti eksperimen mengenai persepsi.  Anda akan bergabung dengan tujuh mahasiswa lainnya yang duduk dalam sebuah ruangan dimana  anda ditunjukkan sebuah garis sepanjang sepuluh inci dan anda diminta menentukan mana dari tiga garis  ainnya yang identik dengan garis tersebut. Jawaban yang tepat, yaitu garis A, terlihat begitu jelas, sehingga anda terheran heran ketika anggota pertama dalam kelompok memilih garis B, “penglihatan yang buruk” kata anda, “ia meleset sekitar dua inci!” kemudian orang kedua juga memilih garis B, “orang bodoh” pikir anda.  Namun ketika orang kelima juga memilih garis B, anda akan mulai merasa raguakan jawaban yang telah anda pilih. Mahasiswa ke enam dan ke tujuh juga memilih garis B, dan anda mulai menghawatirkan penglihatan anda sendiri. Eksperimenter kemudian melihat anda dan berkata, “giliran anda.” Apakah anda akan mempercayai mata anda sendiri atau mengikuti penilaian kolektif kelompok?
beberapa orang melakukannya karena mereka mengidentifikasikan diri mereka dengan kelompok dan anggota kelompok, serta ingin tampil serupa dengan mereka. Beberapa orang berharap untuk disukai, beberapa percaya bahwa kelompok memiliki pengetahuan yang lebih banyak dibandingkan pengetahuan mereka sendiri. [3]

B. Jenis-Jenis Konformitas
a. compliance yaitu konformitas yang melibatkan tindakan secara umum untuk menuruti tuntutan sosial padahal secara individu ia tidak menyetujuinya. Misal compliance yaitu terkadang kita ikut-an apa yang kata umum baik padahal secara pribadi kita Acceptance yaitu konformitas yang melibatkan baik tindakan maupun kepercayaan demi keserasian dalam sosial.menyatakan tidak baik sehingga kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita lakukan
b. Acceptance yaitu konformitas yang melibatkan baik tindakan maupun kepercayaan demi keserasian dalam sosial.[4]
Kapan manusia melakukan konformitas?
a.  ketika keputusan sudah dibuat atau pokok bahasan yang dibicarakan di rasa tidak kompeten.
b. Konformitas tinggi pada saat tiga atau lebih orang dalam group kohesif, unanimous mempunyai status sosial yang lebih tinggi.
(kohesi = merasa/mengikat, unanimous= suara bulat/kesepakatan)[5]
C. Alasan Orang Melakukan Konformita 
1. Informational influence (pengaruh informasi)
Seorang turis Amerika yang mencari tahu tiket kereta di Paris mungkin akan mengamati perilaku orang Paris dengan cermat, memerhatikan kemana mereka membeli tiket, bagaimana mereka melewati peron dan bagaimana cara mereka mencari gerbong kereta. Dari mengikuti langkah-langkah dari orang lain yang lebih tahu, turis itu bisa menguasai dasar-dasar sistem pembelian tiket kereta api di sana.
2.    Pengaruh normatif: keinginan agar disukai (normative influence)
Keingainan agar diterima secara sosial (normative influence) seperti keinginan agar orang lain menerima diri kita, menyukai kita, dan memperlakukan kita dengan baik. Secara bersamaan, kita ingin menghindari penolakan, pelecehan, atau ejekan (Janes dan Olson, 2000). Pengaruh normatif terjadi ketika kita mengubah perilaku kita untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok atau standar kelompok agar kita diterima secara sosial. Misalnya, saat kita bersama dengan teman yang sangat menyadari pentingnya kesehatan, kita mungkin akan memperlihatkan kepadanya bahwa kita sangat suka pada buah dan ikan segar dan tidak merokok, meskipun kita sesungguhnya tidak begitu suka dengan makanan itu, ketika kita sendirian, kita mungkin memilih kesukaan kita sendiri, misalnya makan hamburger atau merokok. Dalam situasi semacam ini, konformitas menimbulkan perubahan lahiriah di dalam perilaku publik, tetapi tidak selalu mengubah opini pribadi kita.[1]
Hal-hal yang mempengaruhi adanya Konformitas
(David O. Sears, Jonathan L.Freedman, L.Anne Peplau, 1985)
a)      Kurangnya Informasi
Orang lain merupakan sumber informasi yang penting. Seringkali mereka mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui, dengan melakukan apa yang mereka lakukan, kita akan meperoleh manfaat dari pengetahuan mereka.
b)      Kepercayaan terhadap kelompok
Dalam situasi konformitas, individu mempunyai suatu pandangan dan kemudian menyadari bahwa kelompoknya menganut pandangan yang bertentangan. Individu ingin memberikan informasi yang tepat. Oleh karena itu, semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagai sumber informasi yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyelesaikan diri terhadap kelompok.
c)      Kepercayaan diri yang lemah
Salah satu faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Semakin lemah kepercayaan seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin tinggi tingkat konformitasnya. Sebaliknya, jika dia merasa yakin akan kemampuannya sendiri akan penilaian terhadap sesuatu hal, semakin turun tingkat konformitasnya.
d)     Rasa takut terhadap celaan sosial
Celaan sosial memberikan efek yang signifikan terhadap sikap individu karena pada dasarnya setiap manusia cenderung mengusahakan persetujuan dan menghindari celaan kelompok dalam setiap tindakannya. Tetapi, sejumlah faktor akan menetukan bagaimana pengaruh persetujuan dan celaan itu terhadap tingkat konformitas individu.
e)      Rasa takut terhadap penyimpangan
Rasa takut dipandang sebagai orang yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. Kita tidak mau dilihat sebagai orang lain dari yang lain, kita tidak ingin tampak seperti orang lain. kita ingin agar kelompok tempat kita berada menyukai kita, memperlakukan kita dengan baik dan bersedia menerima kita.
f)       Kekompakan kelompok
Konformitas juga dipengaruhi oleh eratnya hubungan antara individu dengan kelompoknya. Kekompakan yang tinggi menimbulkan konformitas yang semakin tinggi.
g)      Kesepakatan kelompok
Orang yang dihadapkan pada keputusan kelompok yang sudah bulat akan mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun, bila kelompok tidak bersatu akan tampak adanya penurunan tingkat konformitas.
h)      Ukuran kelompok
Konformitas akan meningkat bila ukuran mayoritas yang sependapat juga meningkat, setidak-tidaknya sampai tingkat tertentu. Namun, berdasarkaan penelitian yang dilakukan oleh Wilder (1977) disimpulkan bahwa pengaruh ukuran kelompok terhadap tingkat konformitas tidak terlalu besar, melainkan jumlah pendapat lepas (independent opinion) dari kelompok yang berbeda atau dari individu merupakan pengaruh utama.
i)        Keterikatan pada penilaian bebas
Orang yang secara terbuka dan bersungguh-sungguh terikat suatu penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap penilaian kelompok yang berlainan. Atau dengan kata lain keterikatan sebagai kekuatan total yang membuat seseorang mengalami kesulitan untuk melepaskan suatu pendapat.
j)        Keterikatan terhadap Non-Konformitas
Orang yang, karena satu dan lain hal, tidak menyesuaikan diri pada percobaan-percobaan awal cenderung terikat pada perilaku konformitas ini. Orang yang sejak awal menyesuaikan diri akan tetap terikat pada perilaku itu.[2]
D. Sisi Positif dan Negatif dari konformitas
Konformitas juga memiliki sisi positif dan sisi negatif, dari sisi positif, yaitu masyarakat akan berfungsi lebih baik ketika orang-orang tahu bagaimana berperilaku pada situasi tertentu, dan ketika mereka memiliki kesamaan sikap dan tata cara berperilaku. Kemudian dari sisi negatif  juga bisa menghambat kreatifitas berfikir kritis.[3]
                            I.               KESIMPULAN
konformitas adalah suatu bentuk sikap penyesuaian diri seseorang dalam mayarakat/kelompok karena dia terdorong untuk mengikuti kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang sudah ada. Konformitas juga memiliki sisi positif dan sisi negatif, dari sisi positif, yaitu masyarakat akan berfungsi lebih baik ketika orang-orang tahu bagaimana berperilaku pada situasi tertentu, dan ketika mereka memiliki kesamaan sikap dan tata cara berperilaku. Kemudian dari sisi negatif  juga bisa menghambat kreatifitas berfikir kritis.
                         II.               PENUTUP
Demikian makalah dari kami, mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan penulisan baik yang disengaja maupun tidak sengaja, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Amin.


[1] opcit Shelly E. Taylor, Letitia Anne Peplau, David O. Sears hal. 258-259
[3] Opcit, Carole Wade dan Carol Tavris hal 309










DAFTAR PUSTAKA
Taylor, Shelly E., Letitia Anne Peplau, David O. Sears, Psikologi Sosial
      (edisi kedua belas), Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Wade, Carole dan Carol Tavris, psikologi (edisi ke sembilan),
      Jakarta: Erlangga, 2007.



[1] Shelly E. Taylor, Letitia Anne Peplau, David O. Sears, Psikologi Sosial (edisi kedua belas), Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Hal. 253.
[3] Carole Wade dan Carol Tavris, psikologi (edisi ke sembilan), Jakarta: Erlangga, thn 2007.hal. 301-309
[6] opcit Shelly E. Taylor, Letitia Anne Peplau, David O. Sears hal. 258-259
[8] Opcit, Carole Wade dan Carol Tavris hal 309